MENGUKIR KEDIRI LEWAT
TANGAN BHAGAWANTA BARI.

Mungkin saja Kediri tidak akan
tampil dalam panggung sejarah, andai kata Bagawanta Bhari, seorang tokoh
spiritual dari belahan Desa Culanggi, tidak mendapatkan penghargaan dari Sri
Maharaja Rake Layang Dyah Tuladong. Boleh dikata, pada waktu itu bagawanta
Bhari, seperti memperoleh penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, kalau hal
itu terjadi sekarang ini. Atau mungkin seperti memperoleh penghargaan Kalpataru
sebagai Penyelamat Liangkungan.Memang Kiprah Bagawanta Bhari kala itu,
bagaimana upaya tokok spiritual ini meyelamatkan lingkungan dari amukan banjir
tahunan yang mengancam daerahnya. Ketekunannya yang tanpa pamprih inilah
akhirnya menghantarkan dirinya sebagai panutan, sekaligus idola masyarakat kala
itu.Ketika itu tidak ada istilah Parasanya atau Kalpataru, namun bagi
masyarakat yang berhasil dalam ikut serta memakmurkan negara akan mendapat
"Ganjaran" seperti Bagawanta Bhari, dirinya juga memperoleh ganjaran
itu berupa gelar kehormatan "Wanuta Rama" (ayah yang terhormat atau
Kepala Desa) dan tidak dikenakan berbagai macam pajak (Mangilaladrbyahaji) di
daerah yang dikuasai Bagawanta Bhari, seperti Culanggi dan Kawasan Kabikuannya.Sementara
itu daerah seperti wilayah Waruk Sambung dan Wilang, hanya dikenakan "I
mas Suwarna" kepada Sri Maharaja setiap bulan "Kesanga"
(Centra).Pembebasan atas pajak itu antara lain berupa "Kring
Padammaduy" (Iuran Pemadam Kebakaran), "Tapahaji erhaji" (Iuran
yang berkaitan dengan air), "Tuhan Tuha dagang" (Kepala perdagangan),
"Tuha hujamman" (Ketua Kelompok masyarakat), "Manghuri"
(Pujangga Kraton), "Pakayungan Pakalangkang" (Iuran lumbung padi),
"Pamanikan" (Iuran manik-manik, permata) dan masih banyak pajak
lainnya.Kala itu juga belum ada piagam penghargaan untuknya. maka sebagai
peringatan atas jasanya itu lalu dibuat prasasti sebagai
"Pngeleng-eleng" (Peringatan). Prasasti itu diberi nama
"HARINJING" B" yang bertahun Masehi 19 September 921 Masehi. Dan
disebitlah "Selamat tahun saka telah lampau 843, bulan Asuji, tanggal lima
belas paro terang, paringkelan Haryang, Umanis (legi). Budhawara (Hari Rabo),
Naksatra (bintang) Uttara Bhadrawada, dewata ahnibudhana, yoga wrsa.Menurut
penelitian dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo,
Kediri lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai
disebut-sebut sebagai nama tempat maupun negara. Belum ada sumber resmi seperti
prasasti maupun dokumen tertulis lainnya yang dapat menyebutkan, kapan
sebenarnya Kediri ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun
sebagai mana tempat.Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada
pemisah wilayah administratif seperti sekarang ini. Yaitu adanya Kabupaten dan
Kodya Kediri, sehingga peringatan Hari Jadi Kediri yang sekarang ini masih
merupakan milik dua wilayah dengan dua kepala wilayah pula.Menurut para ahli,
baik Kadiri maupun Kediri sama-sama berasal dari bahasa Sansekerta, dalam
etimologi "Kadiri" disebut sebagai "Kedi" yang artinya
"Mandul", tidak berdatang bulan (aprodit). Dalam bahasa Jawa Kuno,
"Kedi" juga mempunyai arti "Dikebiri" atau dukun. Menurut
Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, nama Kediri tidak ada kaitannya dengan
"Kedi" maupun tokok "Rara Kilisuci". Namun berasal dari
kata "diri" yang berarti "adeg" (berdiri) yang mendapat
awalan "Ka" yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti "Menjadi
Raja".Kediri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian
atau berswasembada. Jadi pendapat yang mengkaitkan Kediri dengan perempuan,
apalagi dengan Kedi kurang beralasan. Menurut Drs. Soepomo Poejo Soedarmo,
dalam kamus Melayu, kata "Kediri" dan "Kendiri" sering
menggantikan kata sendiri.Perubahan pengucapan "Kadiri" menjadi
"Kediri" menurut Drs. Soepomo paling tidak ada dua gejala. Yang
pertama, gejala usia tua dan gejala informalisasi. Hal ini berdasarkan pada
kebiasaan dalam rumpun bahasa Austronesia sebelah barat, dimana perubahan
seperti tadi sering terjadi.